Jumat, 19 Mei 2017

0

Ijinkan Aku

Rindu, ia tak henti-hentinya menikamku. Jika saja rindu merupakan sajam, sekali tusukpun aku telah mati. Mati ditikam rindu, hehehe.
Terhitung 10 hari sejak aku tak bertemu dengannya, lelaki itu. Ah, kini aku benar-benar tengah memikirkannya. Bahkan pasokan rinduku untuk beberapa tahun saja sudah ia sikat, habislah rinduku olehnya.
Dia? Ya, lelaki itu. Lelaki yang lebih menarik saat dinikmati, tidak untuk dikisahkan. Tapi, kali ini aku ingin mengukir keindahannya. Menunjukkan kepada dunia bahwa dia pantas untuk ada.
Dia, telah lama mambuatku jatuh hati, menjadikanku seorang wanita penikmat senyumnya.
Dia, si pembawa keceriaan, tak sekalipun ia mencela kesal.
Dia, bukan sosok pangeran berkuda putih, ia hanya laki-laki biasa, namun ada sesuatu yang istimewa, hanya aku yang mengetahuinya.
Dia, seorang yang penuh ambisi, selalu terpikat oleh keinginan, namun ia mudah merasa enggan.
Dia, seorang yang membutuhkan perhatian, dan aku siap menghujani kasih sayang.
Dia, tak segan menggugah orang lain untuk tertawa, dengan menertawakan dirinya.
Dia, gemar sekali bertingkah konyol, namun tak satu halpun yang lantas membuatku malu akan dirinya.
Dia, ketenangan selalu menghiasi wajahnya, walau aku tak tahu bagaimana isi hatinya.
Bersamanya, aku memiliki banyak kenangan malam yang begitu indah.
Bersamanya, aku merasa benar-benar dimiliki, sesuatu yang tak pernah ku rasakan saat dengan lelaki lain.
Bersamanya, aku banyak belajar dari hal sederhana sampai yang benar-benar merubah hidupku.
Bersamanya, aku menjadi seorang yang mampu mengungkapkan perasaan, tak ragu untuk berkata jujur.
Bersamanya, aku memahani lebih dalam arti sabar dan ikhlas.
Bersamanya, aku selalu merasa nyaman, ia masih sering membuatku berdegup tak menentu.
Bersamanya, aku bisa menertawakan masa laluku, menerima diri yang hina ini.
Lelaki itu, tak bisa ku miliki seutuhnya, tetapi tetap berada di sampingnya, aku baik-baik saja.
Lelaki itu, yang selalu aku damba, yang kuharap bisa menemaniku hingga menua nanti, yang selalu ku rengkuh dalam tiap doaku.
Tetaplah bersamaku. Aku menyayangi dia.

Kamis, 18 Mei 2017

0

Diskusi Hati

Malam ini, aku tiba di rumah pukul 23.10 WIB. Ketauhilah, aku menulis ini dengan banyak senyum di sudut bibirku. Baru kali ini, hati dan logika ku menyatu, menciptakan sebuah kebahagiaan, bukan lagi kegundahan seperti biasanya. Apa yang terjadi denganku?
***
Ada banyak hal yang harus dibicarakan, tentang bagaimana kisah yang akan kita bangun. Setiap kali kamu mengatakan bahwa ada yang ingin kamu sampaikan, hati ini resah, takut, jikalau apa yang akan kau utarakan itu adalah pilihan. Aku meng-iya-kan, lalu kita mencari waktu, kinilah saatnya untuk bertemu.
Tibalah kita di suatu café yang masih hidup malam ini. Aku dan kamu duduk berhadapan, memandang minuman masing-masing, ada keraguan untuk memulai pembicaraan. Tak ingin larut disituasi seperti ini, aku memberanikan diri menyampaikan maksud hati untuk menjauh.
Aku tumpahkan semua sesuai rencana, ku puncakkan logika, ku munafikkan hati. Kau dengan kepala tertunduk mendengarkannya, apa yang ada di benakmu? Suasana ini, hampir saja aku menitikkan air mata, tapi ada kamu di sini, kuputar bola mata ke atas, mencegahnya untuk jatuh. Kamu sepertinya tidak siap mengetahui keputusanku. Aku mengerti, ku beri giliran untukmu berbicara.
Kamu menuangkan semua yang ada di benak atau hatimu, tentang kita. Tentang banyak bahagia yang kau rasakan selama denganku, tentang ke-tidak-siap-an untuk melewatkanku, lagi. Kamu sangat jujur malam ini, manis sekali. Aku menatapmu lekat, kau gundah, kau berbicara dengan sangat hati-hati terhadapku, sesekali kau bubuhi dengan canda agar kita bisa tertawa.
Aku terjebak di keadaan ini, ruang ini. Pilihan hatiku, yang benar-benar sudah ku ikhlaskan, dengan sekuat hati menyakinkan bahwa itu adalah keputusan terbaik, tapi bersama dan dapat memandangmu pun membuatku luluh. Kalimat “aku memilih untuk mundur” hanya bergelumit di kerongkongan, tak sampai terucap.
Pikiran kita rumit, kita berdua sama-sama tidak siap untuk saling meninggalkan. Entah, kamu terlihat resah, namun aku senang kamu tak ingin aku pergi. Raut wajahmu menggambarkan ingin aku untuk tinggal. Akhirnya, kita membuat keputusan bersama.
Aku akan menunggumu dan tetap ada di sampingmu, namun jika ada seseorang yang bisa membuka hatiku, aku akan memberi kesempatan untuknya. Kita sepakat. Lega, senang sekali aku tetap bersamamu. Aku masih memiliki waktu dengamu, aku masih bisa dengan bebas menemuimu.
Lalu kita pulang, berboncengan sembari bersenandung tenang, menikmati malam di jalanan kota. Apa yang kita putuskan adalah keegoisan kah? Aku tidak peduli. Apapun itu asal dengamu. Tetaplah bersamaku.

Senin, 03 April 2017

0

Serpihan Penantian

"Aku tidak apa apa salah, asalkan itu karenamu."
"Bagaimana dengan mendapatkan hati dan ragamu?"
"Ini semua untukmu."
"Namun tak mungkin kudapatkan seutuhnya."
"Maafkan aku yang seperti ini, aku tidak ingin mengecewakanmu."
"Oke, itu tidak apa-apa, tapi aku ingin tetap seperti ini."
"Aku hanya bisa menerimamu dengan rasaku yang pernah sepertimu. Salahku yang tak bisa menunggumu sedikit lebih lama."
"Pernah hadir dan?"
"Dilupakan."
"Aku berharap kau menjawab 'masih'. Tapi ternyata seperti itu adanya. Ya, memang ini salahku. Salahku yang tak pernah tau kau ada."
"Seandainya aku bisa, mengulang kembali cinta kita."
"Beritahu aku jika kau rindu."
"Tak akan ku sia-siakan kau lagi. Kau tak pernah berfikir mengapa aku sekarang ada di sini? Karena ada cinta yang harus kuselesaikan."
"Tapi bagaimana kau menyelesaikannya?"
"Alasanku di sini."
"Kau ingin akhir yang seperti apa?"
"Kau tetap bersamaku seperti anganku dulu. Tapi aku tak bisa mengingkari janjiku. Seandainya kau tidak membuatku memilih, mungkin kita bisa tertawa di balik rahasia."
"Mengapa harus tertawa di balik rahasia, jika tertawa bersama rasa itu lebih indah."
"Kau ingin aku memilih?"
"Tidak. Tidak untuk sekarang. Karena aku tahu keadaanmu, kau tidak akan meninggalkannya demi aku yang tak pernah mengertimu. Namun jika nanti kau sudah tidak bersamanya, dan kau sadar bahwa rasa ini masih hebat, Katakan padaku. Aku akan menunggu meskipun esok itu masih banyak, sangat banyak, bahkan terlampau banyak. Aku akan disini, seraya menata diri jika memang kau benar-benar kembali."
"Jangan anggap aku hanya berkata, karena aku tidak pernah benar-benar seperti ini, menanti. Jika sekarang aku memilih untuk menantimu, kau harus tahu ada sesuatu yang kau miliki dan aku tak bisa melewatkannya untuk kedua kalinya."
"Selayaknya rasa yang pernah kuberikan tanpa ada kata, tanpa ada keberanian, aku tidak rela melepasmu. Walau kutahu aku sedang berjalan dengan kegagalan, kegagalan menantimu, kegagalan memilikimu."